Mencari Sayatan Serpihan Ilmu
Tempat yang saya jajaki, disini, merupakan
hutan belantara. Tempat ternyaman yang pernah ada dalam sejarah. Bagaimana
tidak, milyaran pohon tinggi nan menjulang, dedaunan yang hijau nan segar, fauna-fauna
yang saling berkelakar, udara bersih yang menyegarkan, hingga berbagai bentuk
energi yang masih bisa di manfaatkan, semuanya ada dan tersedia. Sungguh
rindang, sejuk, dan aman untuk hidup dan menikmati indahnya kehidupan. Tetapi, tiba-tiba
hutan belantara mulai muram, terjadi perubahan pada dirinya, menjadi begitu
gelap gulita, yang menyebabkan kemampuan melihatku menjadi meredup dan tak tahu
arah kemana harus singgah bahkan untuk sekedar melangkah.
Ya, begitulah kira-kira ilustrasi
keadaanku dulu ketika berada pada akhir masa putih abu-abu. Suatu masa menjelang
ujian nasional yang dibayangi oleh kecemasan. Pertama, apakah bisa lulus di
tahun ini? Kedua, apa yang akan saya lakukan jika sudah lulus? Akhir masa putih
abu-abu yang seharusnya merupakan masa menentukan langkah, mengambil sebuah
tempat di salah satu bagian bumi, namun yang terjadi malah sangat berkebalikan.
Aku terjebak, on the horns of dilemma, terjebak
pada dilematis langkah hidup. Satu sisi pertama, cita-cita tinggi menuju
perguruan tinggi akan selalu teringat. Satu sisi yang lain, harapan untuk
membantu kehidupan kedua orang tua akan selalu terbayang, bahkan mengikuti dan
menghantui.
Cita-cita tinggi menuju perguruan
tinggi menjadi mimpi sejak kecil. Kusematkan dalam diri bahwa orang-orang
berilmu akan memiliki derajat disisiNya. Dan menempuh jalan melalui pendidikan,
pendidikan tinggi, merupakan salah satu
jalan untuk meraih kemuliaan itu. Namun, arus air tak selalu melalui jalan yang
lancar, kadang harus melewati bebatuan besar, jalan yang sempit, atau bahkan
hal-hal lain yang tak terduga.
Saya saat itu berada pada gerbang
kegamangan. Bagaikan seorang yang tuna netra, jalan penuntunku tinggalah sebuah
tekat baja. Ku tekadkan diri dengan bulat untuk terus menempuh ke jenjang yang
lebih tinggi. Saya yakin yang Kuasa punya banyak cara menunjukkan kekuasaanNya.
Bagaimana dengan soal membantu kewajiban anak kepada kedua orang tua? Saya
yakin dan percaya saya pasti bisa. Namun, kali ini saya perlu menemukan posisi
terbaik di belahan bumi. Karena anakmu ini selalu yakin, engkau berdua selalu
mendoakan yang terbaik bagi anaknya. Terlihat dengan berbagai usaha yang
dilakukan. Sesusah-susahnya engkau, saya rasa dan tentunya saya tahu, kerja
kerasnya tak dapat mengalahkan yang lain.
Saat itu, saya harus bisa memastikan
orang tua mendukung langkahku. Dukungannya adalah segalanya bagiku. Dengan adanya
dukungan darinya, jalan mudah untuk anaknya akan terbuka. Seperti
nasehat-nasehat yang senantiasa mereka ucapkan bahwa rezeki itu sudah ada yang
mengatur. Singkat kata, kubulatkan tekad untuk terus, terus, dan terus menimba
ilmu, mencari serpihan-serpihan ilmu.
Penerbangan pertama, mencari
sayat-sayat serpihan ilmu, saya mendaftar SNMPTN di sekolah. Kebetulan saat itu
guru-guru saya, terutama guru BK, mendukung dengan kuat, dan saat itu pun ada
bidikmisi. Kalau tidak mungkin mimpi kuliah itu saya tepikan dan saya harus
kerja. Nyatanya, Sang Maha Kuasa menunjukan kuasanya, melalui beasiswa bidikmisi.
Berkas demi berkas, akhirnya terselesaikan dan terupload. Masa penantian pengumuman merupakan masa-masa yang menegangkan.
Tibalah hari pengumuman dan saya gagal lulus SNMPTN. Pupus sudah cita-cita ku.
Saya pun menangis, meratapi nasib. Mungkin jalan saya harus bekerja dan kuliah
bukan saat yang tepat.
Jam demi jam, rasa sedih menghantui. Saya
malu tekad saya untuk kuliah terhenti saat itu. Hampir saja muncul hasrat untuk
menyerah. Namun, beruntung saya masih punya keluarga dan teman-teman yang
mendukung. Bahkan guru-guru membesarkan hatiku, beliau-beliau selalu mendukung
dan memberi saran untuk jangan menyerah. Hingga suatu waktu nampaknya gunung
diseberang lautan mulai terlihat serpihan lerengnya. Saat itu, saya bukanlah
satu-satunya yang gagal. Masih ada teman-teman yang senasib. Kami memutuskan
untuk mulai mempersiapkan berlayar ke SBMPTN. Berkas dan persiapan materi kami
jalani. hingga tiba suatu tahap yang kembali menguras pikiran.
Singkat cerita perjalanan penerbangan
mencari serpihan sayatan ilmu melalui tes SBMPTN saya lalui dengan keyakinan
besar karena hampir 75% soal tiap bidang terjawab. Pulang dari tes, ada rasa
kepuasan, tinggal apakah saya kali ini diridhoi oleh Nya? Hari ke hari
menantikan waktu yang ditunggu. Hingga tibalah saat pengumuman, hati berdetak
lebih kencang, dan alhamdulillah saya
lulus di program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), Universitas Negeri
Malang (UM). Saat itu, rasa senang sungguh tak bisa diungkapkan. Saya yang kayak gini bisa kuliah dengan beasiswa
bidikmisi. Suatu anugerah dari Sang Kuasa menjelang Bulan Romadhon. Hari itu,
malam itu, saya pun bisa tidur pulas. Tak terpikir sebelumnya kalau saya harus
pergi ke Malang dan tak pernah terpikir juga harus ada di jurusan PGSD, jurusan
yang sangat berbeda dengan latar keilmuan awalku.
Pencarian sayatan ilmu tak semudah
membalikan telapak tangan. Saat itu, saya ternyata diterima di UM, nama yang
tidak familiar di daerah saya. “Malang..ya..Malang itu daerah mana?” Gumam saya
dalam hati. “PGSD...ya..sanggupkah saya menjalaninya?” pertanyaan kebimbangan
selanjutnya.
Saya tak pernah keluar kota untuk
waktu yang lama. Detik demi detik, menit demi menit, jam ke jam, hari berganti
hari, aku hanya ada di desa yang jauh dari hingar bingar kampus ataupun
gedung-gedung pencakar. Tetap berada pada desa kecil di sebuah kota tempat
lahir Sang Jenderal pertama di Indonesia. Kalau pun saya akan melanjutkan ke
perguruan tinggi tentu saya harus merantau, jauh dari keluarga. Ketika saya
lihat peta dan ternyata Malang itu woow jauh,
bahkan lebih jauh dari jarak ke Jakarta dari tempat tinggal, ada rasa keraguan.
Akankah saya ambil kesempatan itu?
Tibalah saat daftar ulang, saat
memutuskan untuk mengambil kesempatan itu atau tidak. Dan dengan berbagai
masukan dari berbagai pihak, juga dari sajak-sajak Imam Syafii di bawah inilah
yang menginspirasi untuk merantau dan mengambil peluang sekaligus tantangan itu.
Orang pandai
dan beradab tak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan
negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Pergilah kan
Kau dapatkan pengganti dari kerabat dan teman
Berlelah-lelahlah,
manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang
Aku melihat
air yang diam menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir
menjadi jernih, jika tidak dia kan keruh menggenang
Singa tak kan
pernah memangsa jika tak tinggalkan sarang
Anak panah
jika tidak tinggalkan busur tak kan kena sasaran
Jika saja
matahari di orbitnya tak bergerak dan terus diam
Tentu saja
manusia bosan padanya dan enggan memandang
Rembulan jika
terus-menerus purnama sepanjang zaman
orang-orang
tak akan menunggu saat munculnya datang
Biji emas
bagai tanah biasa sebelum digali dari tambang
Setelah
diolah dan ditambang manusia ramai memperebutkan
Kayu gaharu
tak ubahnya kayu biasa di dalam hutan
Jika dibawa
ke kota berubah mahal seperti emas
Semoga Malang benar-benar menjadi
tempat memainkan cerita cinta yang indah. Ya, Malang yang akan menjadi tempat
persinggahan. Walaupun awalnya, tak punya kerabat, tak punya kenalan, namun
ternyata saya bisa menjalani. Kerabat yang awalnya tak tahu, ternyata di hari
pertama menginjakan kaki di malang, Alloh swt, sudah memberikan jalan
terangnya. Ternyata ada orang satu desa yang sudah ada di Malang. Akhirnya kini
menjadi keluarga yang sangat dekat. Kenalan yang tak banyak tahu, ternyata saat
itu mulai bermunculan. Dari di mudahkan dalam mencari tempat kos, karena ada
teman yang mau mencarikan, hingga teman-teman kuliah yang sangat baik. Semuanya
nampak ketika awal-awal saya berada di Malang. Maka nikmat yang mana lagi yang
engkau dustakan?
Tahun demi tahun di tempat perantauan
terasa begitu cepat. Masih ingat ketika kuliah ketika uang beasiswa belum
turun, harus menahan lapar, makan sekali pun dilakukan. Masih ingat ketika
nyaris tak dapat ikut kegiatan, ternyata ada teman-teman yang sanggup
membayarkan. Namun ketika itu, kegamangan pada dilematis langkah hidup kembali
menjangkiti hidup ini. Dan kembali terulang pada akhir masa-masa studi. Namun
kali ini dengan suasana yang berbeda.
Menjelang penghujung studi, ketika
masa skripsi, masa yang tak hanya menguras olah pikir, namun juga olah rasa
bahkan menguras keuangan, saya dikejar oleh tuntutan. Tuntutan untuk segera
lulus. Bukan tanpa alasan, saya harus segera pulang untuk membantu mengurus
ibu. Ibuku saat itu terkena penyakit yang membuatnya tak bisa berjalan. Saat
itu, saya menjadi sangat terpukul, menjelang masa kelulusan ada hal yang sangat
tidak diharapkan datang. Orang terkasih mengalami sakit. Walaupun dari rumah
selalu memberi semangat untuk jangan memikirkan keadaan ibu, namun tetap saja
hati tak dapat mengelak. Perasaan resah selalu menjadi hantu.
Untung saja, saya punya pembimbing
yang tak hanya dapat diharapkan saran untuk masalah tulisan, tetapi juga
masalah kehidupan. Beliaulah yang mulai mengajarkan tentang profesionalisme.
Nyatanya, beliau pernah mengalami hal yang sangat berat, bahkan lebih berat
dari posisiku saat itu. Mulai saat itulah saya menjadi lebih giat mengerjakan
skripsi. Akhirnya, tagihan akhir ini pun dapat saya selesaikan. Saya pun
kemudian menyelesaikan sesuai tuntutan beasiswa. Delapan semester telah
selesai.
Ketika saya merasa terjatuh, Ibu saya
tak bisa berjalan seperti sedia kala. Mendengarnya merintih kesakitan hati rasa
seperti teriris-iris. Saya tak banyak membantu, hadiahku saat itu hanyalah kelulusanku.
Setelah lulus, saya termotivasi untuk
melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Saya ingin kembali merajut dan
mengembangkan keilmuan. Ditambah lagi dosen-dosen saya menganjurkan saya untuk
melaju ke jenjang master. Walaupun saya saat itu juga dalam dilema, perlu fokus
untuk membantu kesembuhan ibuku. Akhirnya, saya mohon izin ke Ayahku untuk
melamar beasiswa lanjut. Beliau pun meng’iya’kan.
Setelah mendapatkan restu, saya
memutuskan untuk mengajar di salah satu bimbingan belajar. Alasan memilih
tempat itu, yaitu tidak terlalu terikat dengan waktu, dan tentu saya dapat
fokus untuk menyiapkan berkas-berkas pengajuan beasiswa.
Sebagai alumni bidikmisi, saya mencoba
mendaftar beasiswa LPDP afirmasi. Nyatanya, hubungan
saya dan beasiswa LPDP tak semulus yang dibayangkan. Saya pernah gagal di
percobaan pertama. Awalnya, tekad yang begitu kuat untuk mendaftar beasiswa ini,
menyebabkan saya bersemangat. Namun, saat seleksi substansi batch 4 2016, konsentrasi terpecah, tiba-tiba
teringat pada keadaan ibu. Sungguh, saya merasa kecewa. Kenapa saya tidak penuh
konsentrasi menghadapinya?
Pengalaman ketika mendaftar S1 kembali
terulang, gagal di percobaan pertama. Dengan berbekal tekad yang kuat saya kembali
memperbaharui niat. Niat dengan sungguh-sungguh mencari ilmu. Akhirnya, seleksi
administrasi terlewati, seleksi baru online
assesment pun berhasil lolos. Tibalah saat yang menentukan. Awal-awal masih
terbayang kegagalan pada gelombang sebelumnya. Namun, seketika saya teringat
perjuangan Ayah yang mengijinkan saya untuk lanjut kuliah, saya harus bisa
mewujudkan harapannya. Begitu pula dengan keadaan ibu, semuanya menjadi pelecut
untuk menghadapi seluruh rintangan yang ada. Di kesempatan kali kedua ini juga,
keadaan ibu sudah lebih baik. Sehingga jalan seleksi substansi berjalan dengan
lancar. Dan saya berhasil lolos menjadi salah satu calon penerima beasiswa
LPDP.
Perjuangan saya di atas, mungkin tidak ada
apa-apanya dari perjuangan teman-teman yang lain di luar sana. Tetapi saya
meyakini bahwa mencari sayatan serpihan ilmu merupakan sesuatu yang perlu
diperjuangkan dengan keras. Nikmatnya ilmu akan diketahui setelah kita berada
pada proses tersebut. Lelah
dan letih dalam menuntut ilmu bagi seseorang harus dipegang dari lahir hingga
sampai pada liang lahat. Bagi saya mengemban dan mencari ilmu itu kewajiban.
Pahit dan getirnya menuntut ilmu adalah bumbu dari semuanya. Di tengah-tengah
kesusahan yang mendera, selalu akan ada jalan yang diberikan oleh Sang Maha
Pemberi Petunjuk.
Saya dapat banyak keberuntungan dalam
menimba ilmu. Tentu, dengan adanya ridho dari Alloh swt, Tuhan Yang Maha
Membolak-balikan Hati. Sapa Tekenan
Ketekunan Bakale Ketekan, siapa yang tekun dalam berusaha maka akan
tercapai juga. Itulah moto hidupku selama ini. Dengan motto itu, saya menjadi
teringat-ingat untuk selalu tekun belajar dan memberikan yang saya punya dan
saya bisa untuk Negara. Dari dan untukmu bumi pertiwi. Dari bumi pertiwi aku
dilahirkan, aku makan, aku minum, aku bernafas, aku tumbuh, aku berkembang, dan
aku pun mulai belajar. Belajar menjadi makhluk yang tak sekedar hidup, yang
bisa hidup walau nantinya tak lagi hidup. Belajar menjadi makhluk hidup yang
tak sekedar membangun raga, tapi juga jiwanya. Belajar menjadi manusia yang
berharga, yang mampu menjadikan agama sebagai jalan meniti ridhonya, dan
menjadikan ilmu yang didapat sebagai penerang kehidupan, dunia dan akhirat.
Manusia yang berharga, yaitu mereka-mereka
yang beragama, yang merasa cukup & selalu berjalan di atas jalan keridhoanNya
dan mereka-mereka yang berilmu, yang membawa sayatan serpihan-serpihan
keilmuannya menjadi cahaya di dunia dan penerang di hari kemudian.
Best
Regards
Nur Fidayat, S.Pd.
Comments
Post a Comment