MERAMU
CINTA DALAM INTERAKSI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
DI
SEKOLAH DASAR
Pembelajaran merupakan upaya yang dilakukan untuk
memudahkan seseorang belajar. Seperti yang diungkapkan oleh Degeng (1989:3)
bahwa pembelajaran merupakan upaya membelajarkan siswa. Oleh karena itu, untuk
membelajarkan siswa dengan baik perlu adanya penciptaan sistem lingkungan
belajar yang mendukung. Sistem lingkungan pembelajaran ini berupa kesatuan yang
saling pengaruh-mempengaruhi satu sama lain yaitu adanya unsur tujuan, materi,
guru dan siswa, jenis kegiatan, dan sarana dan prasarana (Hasibuan dan Moedjiono,
2012:3). Dari beberapa komponen sistem lingkungan belajar itu, dalam tulisan
ini akan dibahas mengenai interaksi belajar dan pembelajaran terutama antara
guru dengan siswanya.
Interaksi belajar mengajar merujuk kepada komunikasi yang
terjalin dalam pembelajaran. Secara umum terdapat empat jenis antar-aksi
belajar mengajar yang sering terjadi antara lain interaksi satu arah antara
guru dengan siswa, interaksi dua arah antara guru dan siswa tetapi tidak ada
interaksi antar-siswa, interaksi dua arah antara guru dan siswa dengan disertai
interaksi antar siswa, dan interaksi optimal antara guru dan siswa disertasi
siswa dengan siswa. Ilustrasi berikut dapat menggambarkan keempat interaksi
itu.
Gambar 1.1
Jenis-jenis Interaksi Belajar dan Mengajar
(Hasibuan dan
Moedjiono, 2012:8)
Pembelajaran di
Sekolah Dasar dengan Interaksi Cinta
Dalam perkembangan
pendidikan, lahir beberapa aliran yang kemudian mempengaruhi pembelajaran,
yaitu aliran filsafat progresivisme, konstruksionisme, dan humanisme. Aliran
progresivisme memandang pembelajaran perlu ditekankan pada pembentukan
kreativitas, pemberian sejumlah kegiatan, suasana yang alamiah, dan
memperhatikan pengalaman siswa (Rusman, 2017:359). Sementara itu aliran
konstruksionisme memandang pentingnya pengalaman langsung siswa dalam
mengontruksi pengetahuannya (Degeng, 1998 dan Rusman, 2017:359). Lebih lanjut
Degeng menjelaskan bahwa paradigma konstruktivisme lebih
menekankan pada penciptaan pemahaman yang menuntut aktivitas kreatif-produktif
dalam konteks nyata. Beberapa implikasi terhadap pembelajaran dalam paradigma
konstruktivistik antara lain dengan mendorong munculnya diskusi pengetahuan
yang dipelajari untuk proses pemaknaan informasi baru; motivasilah dengan
tugas-tugas riil dalam kehidupan sehari-hari dan kaitkan tugas dengan
pengalaman pribadi untuk memotivasi dan usaha mempengaruhi belajar dan unjuk
kerja.
Sedangkan menurut
aliran humanisme melihat siswa dari sisi keunikan, potensi, dan motivasi yang
dimilikinya dilihat dari faktor personal dan lingkungannya (Rusman, 2017:360).
Terlebih siswa sekolah dasar yang menurut
Piaget dalam Desmita (2009:101), berada dalam tahap pemikiran
konkret-operasional (concrete operational
thought) yaitu sebagai masa saat aktivitas mental anak terfokus pada objek
nyata atau pada berbagai pengalaman yang pernah dialami sebelumnya. Lebih lanjut Degeng (1989:65), kemudian mendefinisikan
karakteristik si-belajar sebagai “aspek-aspek atau kualitas perseorangan
si-belajar, yang bisa berupa bakat, motivasi belajar, atau kemampuan awal
(hasil belajar) yang telah dimilikinya”. Oleh karena itu kedudukan siswa dalam kegiatan
belajar mengajar perlu disesuaikan dengan ketiga aliran tersebut.
Gambar 1.2 Ilustrasi Cinta Bagai Bunga yang Mudah Layu
Sehingga Perlu Perawatan dalam Usaha Pelestarian dan Mempertahankannya
Salah satu jalan yang
dapat ditempuh yaitu dengan menghadirkan cinta dalam interaksi pembelajaran.
Cinta dalam pembelajaran dapat diibaratkan sebagai bunga yang mudah layu yang harus
dirawat dan dijaga untuk mempertahankannya (Degeng, 2016). Sementara itu Andrea Hirata (2008) menuliskan
bahwa ”Tidak pernah ada yang bisa mengalahkan
kekuatan cinta yang murni dan tulus. Cinta yang mendalam menebarkan energi
positif yang tidak hanya mengubah hidup seseorang, tetapi juga menerangi hidup
orang banyak.” Dari dua pandangan tentang cinta itu, nampak bahwa peranan cinta begitu sangat
kuat dan dapat membangkitkan interaksi yang optimal antara guru dengan siswa,
siswa dengan siswa, serta guru dan siswa dengan komponen pendukung lainnya.
Oleh karena itu perlu dirancang interaksi pembelajaran yang penuh cinta di
sekolah dasar.
Gambar 1.3 Interaksi Penuh Cinta dalam Pembelajaran
(Chapman, 2004 dan Hasibuan dan Moedjiono, 2014)
Interaksi optimal yang
penuh cinta dalam pembelajaran diantaranya perlu diaplikasikan dalam 5 hal
yaitu pemberian saat-saat yang mengesankan (quality time), sentuhan fisik (physical touch), penggunaan kata-kata cinta/ kata-kata
penyemangat (word of affirmation), pelayanan
(act of service), dan pemberian hadiah (receiving gifts). Contoh pemberian saat-saat yang mengesankan adalah
melalui kegiatan menceritakan sebuah kisah pada awal pembelajaran 5-10 menit,
siswa diminta menceritakan kisah dan guru mendengarkannya, kehadiran di kelas
100 persen, berdiskusi dan bertukar pemikiran dan perasaan bersama, menonton
film atau video bersama. Sementara itu sentuhan fisik dapat dilakukan dengan
duduk berdekatan bersama, bermain, tepuk bahu/punggung, adu tos ke atas,
berpegangan tangan.
Selanjutnya dalam penggunaan kata-kata cinta/penyemangat
antara lain dengan cara pemberian kartu atau catatan kecil di buku siswa,
memberikan panggilan sapaan, membicarakan pencapaian yang telah dilalui, dan
kemukaakan alasan kenapa bangga terhadap siswa. Berkaitan dengan pelayanan maka
guru perlu memberikan perhatian pada kebutuhan siswa, memastikan siswa dapat
mengatasi kendala belajar, dan memberikan layanan kepada siswa yang tidak
membawa peralatan sekolah. Yang terakhir yaitu dengan pemberian hadiah, yaitu
dengan memberikan kartu bergambar, bahan untuk membuat hadiah, gelang
persahabatan, dan kue ulang tahun sederhana.
Gambar 1.4 Pemberian Kata-kata Cinta dan Hadiah dapat Meningkatkan
Interaksi Belajar dan Mengajar Guru dan Siswa dengan Berlandaskan Cinta (Chapman,
2004)
Sementara itu bagi siswa yang memiliki kebutuhan
yang khas, seperti kebebasan, pengertian, penghargaan, dan pewujudan diri
tertentu, Degeng dalam
artikel Revolusi Mental dalam Belajar dan
Pembelajaran memberikan acuan dalam merancang pembelajaran untuk siswa
dengan kondisi tersebut. Yang pertama,
dengan mempertimbangkan bahwa gaya belajar, rentangan
perhatian-minat-kegemaran, ingatan, tahap perkembangan, dan kecerdasan siswa
sangat bervariasi, maka dalam merancang pembelajaran pengajar perlu menyediakan
pilihan tugas (tidak semua siswa mengerjakan tugas yang sama), menyediakan
pilihan bagaimana cara memperlihatkan bahwa siswa telah menguasai apa yang
dipelajari, menyediakan waktu yang cukup untuk memikirkan dan mengerjakan
tugas, jangan terlalu banyak menggunakan tes/tugas yang telah ditetapkan
waktunya, menyediakan kesempatan untuk berpikir ulang dan melakukan perbaikan, dan
melibatkan pengalaman-pengalaman konkrit. Kemudian yang kedua, dengan
mempertimbangkan bahwa siswa berbakat cenderung memiliki rasa ingin tahu yang
sangat kuat akan banyak hal, mempunyai inisiatif dan kemampuan untuk belajar
mandiri, berpikir kritis-fleksibel-produktif, maka dalam merancang pembelajaran
pengajar perlu memasukkan strategi yang dapat mendorong munculnya
berpikir divergent, kaitan dan
pemecahan ganda, bukan hanya ada satu jawaban benar, mendorong munculnya
berbagai jenis luapan pikiran/aktivitas, seperti: main peran, simulasi, debat,
dan pemberian penjelasan kepada teman, menekankan pada keterampilan berpikir
kritis: analisis, membandingkan, generalisasi, memprediksi, menghipotesis, dan memberikan kesempatan kepada
siswa untuk melakukan evaluasi diri dan/atau kelompok.
Selanjutnya yang
ketiga, dengan mempertimbangkan bahwa
siswa sangat membutuhkan suasana yang bebas dalam melakukan kontrol diri, maka
pengajar perlu memberikan kesempatan untuk menerapkan cara
berpikir dan belajar yang paling cocok dengan dirinya, memberikan kesempatan
kepada siswa melakukan evaluasi diri tentang cara berpikirnya, tentang cara
bela-jarnya, tentang mengapa ia menyukai tugas tertentu, memotivasi siswa
dengan tugas-tugas riil dalam kehidupan sehari-hari dan kaitkan tugas-tugas
dengan pengalaman pribadinya, dan mendorong siswa untuk memahami kaitan antara
usaha dan hasil. Lalu yang terakhir, dengan mempertimbangkan bahwa belajar pada dasarnya
memiliki aspek sosial, dan siswa berbakat harus tetap mampu belajar bersama
dengan siswa-siswa lain, maka perlu rancangan pembelajaran yang memberikan
kesempatan kepada siswa berbakat untuk melakukan kerja kelompok, menggabungkan
kelompok-kelompok yang heterogen, mendorong siswa untuk memainkan peran yang
bervariasi, dan dalam evaluasi memperhitungkan proses dan hasil kelompok.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam
interaksi belajar dan mengajar yang melibatkan cinta dapat dilaksanakan di
sekolah dasar dengan jalan kehangatan hubungan antara guru dengan siswa, siswa
dengan siswa, dan guru dan siswa dengan lingkungan pendukung lainnya. Dalam
pembelajaran guru perlu meramu pembelajaran yang berlandaskan dengan cinta
dengan menghadirkan guru yang berciri progresif, konstruktivis, dan humanis.
Selain itu, interaksi yang terbangun memungkinkan siswa menjadi nyaman dan
tertantang dalam pembelajaran.
DAFTAR RUJUKAN
Chapman,
Gary. 2004 . The Five Love Languages. Chicago:
Northfield Publishing
Degeng, I
Nyoman Sudana. 1989. Ilmu Pengajaran:
Taksonomi Variabel. Jakarta: Proyek Pengembangan LPTK Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Degeng, I
Nyoman Sudana. 1998. Mencari Paradigma
Baru Pemecahan Belajar dari Keteraturan Menuju ke Kesemrawutan. Pidato
Pengukuhan Guru Besar Universitas Negeri Malang. Malang: IKIP Malang.
Degeng, I
Nyoman Sudana. 2016. Sendi Pendidikan Karakter Orkestra Hubungan Antarmanusia di Tengah Keberagaman Bahasa
Cinta. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Profesionalisme
Pendidik untuk Membangun Karakter Anak Bangsa. Malang: Pascasarjana Universitas
Negeri Malang.
Degeng, I Nyoman Sudana. tt. Revolusi Mental dalam Belajar dan Pembelajaran.
(online), (http://pasca.um.ac.id/conferences/index.php/kskid/article/download/638/322),
diakses tanggal 1 Desember 2018.
Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan
Peserta Didik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Hasibuan dan Moedjiono. 2012. Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Hirata, Andrea. 2008. Laskar Pelangi. Yogyakarta: PT. Bentang
Pustaka.
Rusman.
2017. Belajar dan Pembelajaran
Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Comments
Post a Comment